Langsung ke konten utama

Trik 3S Sustainable Fashion yang Asik #UntukmuBumiku

Masih di bulan Syawal 1444H nuansa Hari Raya Idul Fitri masih terasa. Mungkin saja ada yang seperti saya, beli baju lebarannya bukan menjelang lebaran, tetapi malah setelahnya hehe. Tujuannya sih biar datangnya paket tidak terlambat, dan juga memudahkan petugas kurir dalam mengantar agar tidak terjadi penumpukan paket.

 

Kalau melihat fenomena lebaran beli baju baru, geregetnya luar biasa.  Antrean di pasar atau supermarket bisa mengular dan menumpuk. Jika beli secara online, pengiriman paket datangnya melebihi waktu yang ditentukan. Maka, bisa ditarik garis lurus, pembelian baju lebaran alias baju baru bisa dikarenakan:

  • Kebutuhan akibat pada lebaran tahun sebelumnya, tidak membeli baju baru.
  • Ingin mengikuti tren fashion lebaran terkini, dari segi jenis bajunya, bahan, dan warnanya.
  • Mau nuansa yang berbeda dengan yang lain, misalnya karena kecenderungan di tempat tinggal bakal memakai gamis, maka muncul keinginan untuk membeli model kaftan.
  • Baju lebaran yang dimiliki tidak bisa dimodifikasi lagi karena ukuran yang tidak lagi muat (kependekan karena tubuh bertambah tinggi atau kekecilan karena tubuh tambah berisi).
  • Warna baju yang ada sudah lusuh atau kainnya koyak/robek atau resleting rusak.
  • Bosan, karena menganggap itu-itu saja baju yang dimiliki. 

Bervariasinya alasan orang untuk membeli baju baru ini, hendaknya juga bisa diimbangi dengan sebuah pemikiran, apakah dengan membeli baju lebaran yang baru akan berdampak pada kelestarian bumi ini? Memang sih pemikiran tersebut, mungkin tidak serta merta akan terlintas oleh kita. Soalnya kan keinginan membeli pakaian baru, bisa pula karena ingin membahagiakan diri seperti self rewards.

Meski begitu, perlu juga bagi kita memulainya dari sekarang untuk menerapkan sustainable fashion. Pasalnya melalui riset YouGov, kondisi sampah dari pakaian, tercatat 66% kalangan dewasa setidaknya membuang satu pakaian mereka per tahun, dan 25%-nya membuang lebih dari 10 pakaian per tahun. Apalagi konsumen dari produk fashion kita di Indonesia 41%-nya itu milenial, yang berpotensi sebagai penyumbang sampah pakaian lebih banyak.

Dampak Sampah Pakaian untuk Bumi Kita

Miris gak sih dengan sampah pakaian ini? Terlebih riset dari YouGov di atas kita milenial nih penyumbangnya. Bukan lagi tertampar, tapi bisa menjadi renungan buat kita, karena begitu besar dampak yang akibat pola konsumtif membeli pakaian. Dari situ wajar saja, bila dari sampah pakaian bisa berdampak pada bumi kita.

Bahan baku pakaian misalnya polyester, bila dicuci maka dapat menghasilkan serat mikro plastik. Kalau pakaian berbahan ini dibuang sembarangan begitu saja atau dihanyutkan, dampak biota di perairan akan terancam, sehingga balik lagi akan membahayakan kesehatan kita juga. Untuk dapat terurai, membutuhkan waktu sekitar 20-200 tahun.


 

Apalagi pada industry fast fashion, siapa nyana bisnis pakaian ini dapat menyebabkan menurunnya jumlah populasi hewan tertentu, karena bahan baku pakaiannya menggunakan hewan-hewan terancam punah seperti macan, ular, dan sebagainya. Belum lagi, serat bahan pakaian yang memungkinkan bagian dari hutan. Pepohonan ditebang untuk pembuatan pakaian, yang tentu berdampak pada lingkungan, karena penyimpan karbon (yaitu pohon) tak lagi menghijau.


Baca Juga: Hijaukan Layar untuk Pikiran Lebih Bersahabat

 

Industri pakaian sebagai penghasil pakaian yang dapat kita nikmati dan kenakan sekarang, terdiri dari beragam model pakaiannya, sekaligus juga warnanya. Nah, warna cerah pakaian dari industri ini (menggunakan pewarna tekstil) dapat berbahaya tak hanya bagi lingkungan (akibat pengelolaan limbahnya tidak baik) tetapi juga buat kesehatan kita.

 

Limbah dari pakaian pun beraneka bentuknya. Pada limbah berbentuk padat, misalnya sisa kain, kalau ini menumpuk di tanah lalu membusuk, dapat menghasilkan gas metana. Kalau limbahnya cair, yaitu sisa zat perwarna atau bahan kimia lainnya dari sisa produksi pakaian, dapat menghasilkan zat sisa berupa NaOH, yang menjadi penyumbang lebih dari 20% polusi air di dunia. Sedangkan, limbah industri pakaian yang menghasilkan uap tak disangka mengandung residu gas B3 melalui mesin produksi. Riset dari Ellen MacArthur Foundation, emisi gas dari industri fashion dapat menjadi penyebab kerusakan iklim.


Baca Juga: Seperti Apa Sih Kaitan Lingkungan dengan Kehidupan Kita?

 

Diperparah pula dengan masalah impor pakaian bekas ke negeri kita ini. Thrifting yang alih-alih bisa menjadi solusi agar menghemat membeli pakaian baru dengan cara membeli pakaian bekas “branded” yang diimpor dari negara lain, justru dapat berakhir menjadi sampah. Padahal telah ada pelarangan impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. Kemudian dalam Permendag No 40/2022 tentang Perubahan Permendag No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.



Permasalahan tentang sampah pakaian ini bisa dikatakan klasik tapi pelik ya. Sumbangan timbulan sampah nasional pada tahun 2022 saja untuk sampah pakaian ini mencapai 2,6%, atau setara dengan 487,7ribu ton. Sudah terbayang bagaimana kurang sehatnya lingkungan kita ini karena sampah pakaian. Maka dari itu, kita dapat meminimalisir keadaan lingkungan agar tidak semakin buruk, dengan bergerak dan berdaya menjaga lingkungan hidup, melalui 3S, yaitu:

1. Sortir atau Pilih Baju

Pilih baju mana saja yang masih ingin digunakan kembali, disumbangkan (bisa langsung dimasukkan ke dalam dus sehingga lebih rapi), dijual sebagai baju preloved, atau ingin dimanfaatkan kembali sebagai kain lap misalnya.

2. Sabar Saat Akan Membeli yang Baru

Jika ingin membeli pakaian baru, maka sabarlah dalam membelinya. Artinya jika memang bukan suatu hal yang urgent, maka sebaiknya untuk menahan diri terlebih dahulu. Pakailah pakaian tersebut minimal tiga tahun, dengan begitu perilaku konsumtif dapat ditekan.

3. Sewa Baju

Bila kondisi yang teramat urgent harus memiliki pakaian lain dari yang sudah ada, misal harus memakai outfit warna ungu padahal di dalam lemari tidak punya. Atau bisa juga karena bosan dengan baju yang ada, maka bisa memanfaatkan jasa sewa baju/pakaian.

Sustainable Fashion ala Fenni Bungsu

Alhamdulillah, saya bukan tipe mengikuti tren untuk belanja baju baru dan tidak tergoda untuk membeli thrifting. Soalnya selain karena ingin mengurangi dampak akibat sampah pakaian, ada hal lain yang amat urgent yaitu, guna memudahkan hisab saat Yaumul Hisab mendatang.

Sebagai muslim, kita meyakini akan rukun Iman yang kelima yaitu percaya Hari Akhir. Perjalanan seseorang insan usai terjadinya Hari Kiamat, maka akan menuju Hari Kebangkitan (Yaumul Ba’ats), lalu berkumpul di Padang Mahsyar (Yaumul Hasyr), lalu Hari Perhitungan (Yaumul Hisab), kemudian Hari Pembalasan (Yaumul Jaza). Pada momen Yaumul Hisab inilah semua hal yang kita lakukan, keilmua, usia, dan harta benda yang dimiliki akan diperhitungkan, termasuk di sana pakaian yang kita punya.

Untuk sustainable fashion, saya menerapkan 3S di atas. Pernah juga ketika membeli baju ternyata yang datang masih cukup besar untuk saya atau ternyata warnanya sudah ada. Baju tersebut bisa diberikan kepada saudara atau orang terdekat lainnya. Intinya, bila masih dapat dimanfaatkan, maka pergunakanlah hingga masanya usai.

Andai Saya Pembuat Kebijakan, Maka..

Bukan hal yang mudah untuk mengatasi sampah pakaian ini. Akan tetapi, harus minimal dari diri kita sendiri yang mengubah cara dan berupaya demi lingkungan. Saya pun jadi berandai-andai, kalau punya kesempatan untuk membuat kebijakan demi #UntukmuBumiku guna mengurangi mitigasi risiko perubahan iklim dengan cara:

Sosialisasi Penegasan Ijin dan Pelarangan

Selaku pembuat kebijakan, pelarangan akan impor pakaian bekas, semakin ditegakkan. Sehingga timbulan sampah pakaian tidak makin menumpuk. Saya akan menyampaikan apa-apa saja material bahan baku pembuat pakaian hingga pewarnaannya yang diijinkan serta yang dilarang. Pemberlakuan ketentuan (hal yang diijinkan dan sanksi) juga disampaikan dan disosialisasikan ke publik baik melalui media televisi, media sosial, sekolah/kampus, supermarket/pasar, lembaga, dan jaringan yang terhubung internet lainnya.

Kebijakan untuk Masyarakat yang Ingin Membeli Baju

Saat masyarakat akan melakukan pembelian baju baik secara offline maupun online, diberikan catatan untuk baju tersebut akan dimanfaatkan untuk apa? Jika untuk kepentingan pribadi atas dasar apa? Kalau hanya guna mengikuti tren maka akan dikenakan pajak tambahan. Pajak ini nantinya akan digunakan untuk mengolah sampah pakaian.

Kebijakan untuk Pelaku Usaha Maupun Produsen Pakaian

Pelaku usaha pakaian baik itu garmen, maupun toko yang memasarkannya harus menyampaikan bahan pembuatan kain dan pewarnaan kain maupun sablonnya, terbuat dari bahan apa? Jika cenderung merusak lingkungan dan tidak dapat didaur ulang maka harus menghentikan produksi tersebut dan cari alternatif lain dengan bahan yang ramah lingkungan, serta tidak menjualnya ke pasaran. Selain itu, akan ada penghargaan setiap tahunnya kepada pelaku usaha dan toko yang sukses menerapkan penjualan pakaian berbahan ramah lingkungan.

Jaga masa depan bumi kita, memang harus kerja #BersamaBergerakBerdaya. Saling mengingatkan satu sama lain, agar sampah pakaian bisa diminimalisir. Ini, versi saya. Kalau #BersamaBergerakBerdaya versi kalian apa nih? Boleh dong tulis di kolom komentar ya!

Baca Juga: Lingkungan untuk Kita dan Kitalah yang Merawatnya 

Sumber materi tambahan:

  • https://katadata.co.id/ariayudhistira/analisisdata/64264b0fc90c7/bahaya-tumpukan-sampah-kain-dari-bisnis-thrifting-impor
  • https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/17/pakaian-bekas-kian-meluas
  • https://www.bbc.com/indonesia/vert-earth-47302397
  • https://waste4change.com/blog/hati-hati-ketahui-bagaimana-sampah-pakaian-merusak-lingkungan/
  • https://dataindonesia.id/ragam/detail/survei-ini-sederet-alasan-masyarakat-indonesia-buang-pakaian 

Komentar

Deeva Collection mengatakan…
Saya pun sejak pandemi jarang beli baju, bisa setahun sekali. Apalagi kalau pakai baju pastinya yang sering dipakai hanya yang paling disenangi.

Btw, tumpukan sampah pakaian sampai menggunung seperti itu. Yuk mulai fokus pada kegunaan
Farida Pane mengatakan…
wadaw, ada pajak untuk mengikuti tren, ya. salut sih sama sebuah brand yang berusaha sustainable dengan menerima produk lamanya untuk diolah lagi.
deamerina mengatakan…
bener nih. baju secara nggak sadar udah menyumbang emisi karbon. aku sendiri sejak decluttering beberapa tahun lalu udah juarang banget beli baju. kalo mau beli mikirnya banyak kali karena selain menjaga isi lemari tetap rapi, pasti mikir ini baju yang bakal dibuang mau di kemanain hehe
Goresan hati mengatakan…
Baju numpuk di lemari memang kadang bikin pusing ya. Mending disumbangkan ke orang lain yang membutuhkan. Makanya jangan sering sering beli baju. Beli seperlunya saja buat hemat.
Didik Purwanto mengatakan…
Lagi rame sih larangan thrifting. Padahal aturannya udah jelas. Tapi emang sosialisasinya yg kurang humanis. Jd masih ada penolakan. Padahal kalo dijelasin kayak di atas, orang2 kayak kita seharusnya ga mau lagi loh pake barang thrifting.
Yonal Regen mengatakan…
Saya tim yang beli baju karena kebutuhan, bukan keinginan.
So far bahkan baju-baju yang ada di lemari kebanyakan baju sponsor, alias dikasih dari kantor.. hehe
Naqiibatin Nadliriyah mengatakan…
Mantap bener triknya Mbak.Alhamdulillah aku dah sadar tentang limbah baju ini. jadi selama 4 tahun ini aku dah hampir g pernah beli baju baru. adanya dapat kain seragam ngantor:3
Witri Prasetyo Aji mengatakan…
Aku sekarang sudah jarang banget beli baju Mbak meskipun modelnya lucu2. Beli ya kalau warnanya udah lusuh, makanya bajuku ya itu lagi itu lagi.
Untuk baju bekas yang sudah kekecilan kayak punya anakku, kalau masih layak pakai ya kukasih tetangga, tapi kalau sudah enggak layak ya dibikin lap.
ANGGITA RAMANI mengatakan…
Btw dulu aku suka beli baju murah, sekarang mending beli baju yang kualitas bagus tapi awet sampai beberapa tahun. Daripada beli baju murah tapi cepat rusak dan jadi sampah
hani mengatakan…
Persoalan besar kita nih, bukan hanya limbah plastik tetapi juga limbah tekstil berupa kain dan baju yah.
Kebayang baru hancur 200 tahun.
Ini ada berita di Bandung, TPA Sarimukti udah setinggi 50 meter tuh. Kebayang sampah setinggi itu...
Serem ga sih...
Siti Mustiani mengatakan…
Sampah fashion memang menjadi salah satu PR sih yaa, apalagi menjelang lebaran. Tahun ini aku juga gak beli baju baru, soalnya dapat yang bagus di thrifting.
lendyagasshi mengatakan…
Bener bener..
Sekarang ada jasa sewa baju ya.. Gak harus nunggu jadi manten, tapi ada sewa baju kekinian dan yang penting, bajunya terlihat beda dari hari biasanya. Ini juga termasuk sustainable lifesyle.
Bundamami Devi mengatakan…
Setuju banget dengan prinsip 3S Kak Fenni ini. Saya pun sudah menerapkannya di rumah untuk prinsip nomor 1 dan 2. Sedangkan untuk nomor 3 belum pernah sewa.
Saya sering menyortir pakaian yang tidak layak pakai, kemudian mempermak agar bisa digunakan kembali. Misalnya baju saya yang sudah kekecilan atau ada bagian yang bolong. Maka, baju tsb akan dipermak, dibuang bagian bolongnya kemudian diubah modelnya menjadi baju anak.
Diaz Bela mengatakan…
Fast fashion itu serem banget ya efeknya kalau dipikir-pikir. Memang harus lebih banyak pertimbangannya ya sebelum membeli baju
Aku juga sortir baju jadinya di lemari enggak penuh pakaian yang enggak dipakai meski hanya itu yang terlihat terus di layar ponsel
Nabilla DP mengatakan…
saya sendiri juga tipikal yang suka slow fashion kak, artinya ngga gampang berganti2 mode dan tren juga. lebih hemat dan lebih bagus untuk bumi
Ainun mengatakan…
dulu aku mikir kalau pakaian di thrifting pasti jelek, ehh ternyata perkiraanku salah besar, malah pilihan baju thrifting justru unik, dan aku sering menemukan yang unik.
Dan pas udah gede kayak sekarang, malah momen lebaran jarang banget aku beli baju, karena baju lama juga masih bagus, jadi lebih meminimalkan juga
Maria G Soemitro mengatakan…
Setuju banget
Selama ini kita berpendapat, ah beli baju bukan pemborosan
Padahal kan kita hanya pakai 1 baju

Jika punya 10 baju, berarti bakal ada bajuyang gak kepakai
sementara umumnya kita gak mungkin hanya punya 10 baju
Fionaz mengatakan…
Yup bener banget mbak, beberapa upaya ini semoga bisa mengurangi sampah fashion di lingkungan ya.
Apalagi industri fast fashion sekarang ini lumayan merajai, jadi kita sebagai konsumen yang harus pintar2 meemilah dan memilihnya.
lendyagasshi mengatakan…
Lebih bijak dengan sustainable lifestyle salah satunya melalui sortir baju yang dimiliki. Gak berlebihan dalam berbelanja dan semoga bajunya tetap bisa bermanfaat ketika bertemu dengan pemilik barunya.
Annie Nugraha mengatakan…
Saya selalu merinding saat sudah berbicara soal Yaumul Hisab. Pengingat bagi kita ya Fen. Untuk tidak melebih-lebihkan kebutuhan padahal seharusnya bisa kita batasi. Godaan konsumerisme juga tinggi sekali. Apalagi dunia fashion kan terus berkembang dan selalu menggoda para wanita untuk membeli.

Memberikan baju yang tidak terpakai kepada orang lain bisa jadi salah satu solusi ya Fen. Sayapun, setiap bersih-bersih lemari, selalu menemukan kelegaan hati. Lemari pun jadi gak penuh dan tertata dengan baik. Mudah-mudahan cara ini bisa jadi solusi yang tepat.
Ayah Ugi mengatakan…
Tumpukan sampah pakaian ngeri, apalagi masa untuk bisa terurai sangat lama. Hampir sama dengan usia penggunanya. Harus bijak juga ya menggunakan pakaian, harus kembali lagi pada fungsinya, bukan sekedar trend, kemudian ga dipakai.
Lasmicika mengatakan…
Sedikit cerita ya, sejak 2017 saya menyewakan baju untuk wisuda, baju pesta seperti kebaya & dress, baju karnaval seperti kostum profesi ukuran anak-anak, baju adat, baju tari, dll. Salah satu alasannya karena baju-baju seperti ini tidak dipakai setiap hari, jadi orang tidak perlu membeli lalu kemudian disimpan, menumpuk di lemari dan biasanya jadi kekecilan. Minimal dengan adanya penyewaan baju seperti saya, pembelian berlebih produk fashion bisa ditekan.
lisa nurliat mengatakan…
sustainable fashion bisa digaungkan lebih kencang lagi
Okti Li mengatakan…
Saya malah jarang beli baju. Bisa dibilayseyahun sekali kalau lebaran. Baju sehari hari malah mayoritas kaos dari goodybag acara blogger. Hahaha
lendyagasshi mengatakan…
Declutering ini gak semudah yang dibayangkan ya..
Ada banyak hal yang selalu menjadi pertimbangan. Jadi beneran kudu dibiasakan program 1 in and 1 out. Jadi ga numpuk dan akibatnya jadi gak bermanfaat.
Indah Nuria Savitri mengatakan…
Sustainable fashion memang sangat IN mba.. berbarengan dengan zero waste, baik untuk makanan, industri dan fashion, di NZ kita bayak Op Shop atau toko preloved yang membantu mengurangi kunsumerisme dan juga waste. Ayo kita turut berpartisipasi
Inda Chakim mengatakan…
Waduh bahaya juga ya dampak dari pakaian buat lingkungan. Kalau aku sejauh ini sudah mengurangi bgd beli baju. Kalaupun pengen tampilan yg berbeda aku lebih milih permk atau padu padan aja. Nah trus kalau ada yg masih layak pakai dan aku Gk muat ya aku sumbangin dan yg terakhir kalau udah rusak parah biasanya aku jadiin keset gitu. Semangat menjaga bumi ya, kita. Untukmu bumiku apa saja akan ku usahakan untukmu
Monica Anggen mengatakan…
Alhamdulillah, walo baru paham istilah sustainable fashion baru2 ini, ternyata aku dan Pewe udah menerapkannya. Kami jarang beli baju baru selama masih ada baju lain yang bisa digunakan. Klo ada baju yang gak kepake, lebih sering disumbangin (klo masih layak). Klo gak layak, digunting-gunting jadikan serbet atau pel. Pernah juga kami bikin selimut dari potongan baju yang udah gak kepake... hahaha. Ternyata ini jadi salah satu cara untuk mengurangi sampah pakaian ya.
Elva Susanti mengatakan…
Alhamdulillah Saya dan suami termasuk yg gak terlalu berlebihan dalam membeli pakaian, paling beli setahun sekali dan beli pun pakaian yg sekiranya bukan buat dipake lebaran aja tapi bisa digunakan buat kondangan dan jalan2. Apalagi buat baju sehari2, itu juga pake baju dari goodie bag event selama ini 🤭.